Mojokerto, kabarpos.id – Dugaan penyimpangan dalam penggunaan Dana Desa di Desa Bandarasri, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, semakin kuat. Setelah muncul sorotan terhadap pengadaan lampu penerangan jalan umum (PJU) dan proyek kandang peternakan ayam, hasil penelusuran di lapangan menunjukkan bahwa dua kegiatan tersebut berpotensi besar menjadi ajang mark-up dan manipulasi pelaksanaan pekerjaan.
Proyek PJU tahun 2024 dengan nilai anggaran Rp64,7 juta untuk 25 titik lampu di tiga dusun disebut sebagai pekerjaan paling bermasalah. Hasil pengecekan menunjukkan, tiang PJU terpasang tanpa pondasi beton sesuai standar, bahkan sebagian tiang hanya ditancapkan langsung di tanah tanpa perkuatan. Kondisi ini menyebabkan banyak tiang mudah miring, dan sebagian lampu sudah mati tak lama setelah dipasang.
Jenis lampu LED yang digunakan juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Seharusnya lampu jalan memiliki tingkat pencahayaan sesuai SNI 7391:2008, namun di Bandarasri, lampu yang digunakan berdaya rendah dan tidak mampu menerangi jalan desa pada malam hari. Kualitas kabel dan instalasi listrik pun sangat minim, tanpa pelindung dan sambungan yang aman, sehingga berisiko korsleting.
“Kalau dihitung dengan harga pasar, paling tinggi satu titik lampu itu Rp1 juta. Tapi di laporan bisa sampai lebih dari Rp2,6 juta per titik,” ujar seorang warga dengan nada geram. Beberapa titik bahkan ditemukan tidak terpasang sama sekali, padahal sudah tercantum di dokumen proyek.
Potensi korupsi kian jelas terlihat dari selisih antara nilai kontrak dan kondisi fisik di lapangan. Diduga kuat, spesifikasi barang yang digunakan berbeda dari yang tertulis dalam RAB. Modus ini sering dilakukan dengan cara mengganti barang berharga tinggi dengan versi murah setelah kontrak disetujui. Selain itu, ada indikasi dokumen pengadaan fiktif seperti faktur dan kuitansi yang tidak sesuai dengan barang yang diterima.
Tak kalah janggalnya, proyek kandang peternakan ayam tahun 2023 senilai Rp149 juta juga disorot. Bangunan kandang yang seharusnya memiliki struktur kokoh dan luas sesuai RAB, di lapangan justru jauh lebih kecil. Material yang digunakan murahan, rangka kayu lembek, atap bocor, dan lantai tanah tanpa sistem drainase.
Kandang yang dibangun pun hanya satu unit, tidak proporsional dengan nilai proyek. Tidak ada tanda-tanda kandang modern dengan fasilitas ventilasi dan sistem pakan otomatis sebagaimana dijanjikan. Ironisnya, ayam yang disebut-sebut dibagikan kepada kelompok ternak juga tak jelas keberadaannya. “Ayamnya cuma beberapa ekor, tidak sebanding dengan anggaran. Entah ke mana sisanya,” ungkap sumber lain.
Sumber internal desa menyebut, proyek kandang ini kemungkinan disubkontrakkan secara diam-diam kepada pihak ketiga yang tak punya kemampuan teknis. Pembayaran juga diduga dilakukan penuh sebelum pekerjaan selesai, tanpa berita acara serah terima yang sah. Situasi ini membuka peluang terjadinya penggelembungan harga material, pemotongan dana, dan pencairan fiktif.
Selain masalah teknis, pelaksanaan dua proyek ini juga menabrak prinsip dasar transparansi. Tidak ada papan informasi yang menampilkan nilai kegiatan, sumber dana, atau pelaksana proyek sebagaimana diwajibkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Warga pun tidak pernah diajak dalam musyawarah untuk menentukan prioritas pembangunan atau mengawasi realisasi kegiatan.
Kepala Desa Bandarasri, Dwi Setiyo Utomo, hingga berita ini diterbitkan tidak memberikan tanggapan atas dugaan penyimpangan tersebut. Upaya konfirmasi langsung dan tertulis yang dilakukan media ini melalui pesan elektronik tidak mendapat respon. Sikap bungkam itu menambah kecurigaan masyarakat bahwa ada praktik tidak sehat dalam pengelolaan Dana Desa Bandarasri.
Jika mengacu pada aturan hukum, penyimpangan semacam ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Sebab, unsur mark-up, pengadaan fiktif, hingga manipulasi laporan pertanggungjawaban termasuk dalam perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Masyarakat kini mendesak Inspektorat Kabupaten Mojokerto dan aparat penegak hukum segera turun ke lapangan melakukan audit fisik dan pemeriksaan dokumen proyek. Audit diperlukan untuk memastikan kejelasan penggunaan anggaran serta menelusuri dugaan kolusi antara pemerintah desa dan penyedia barang-jasa.
Jika terbukti, kasus ini dapat menjadi contoh telanjang bagaimana dana publik yang seharusnya menyejahterakan warga justru dikorupsi melalui proyek kecil yang dibuat seolah sepele, namun nilainya ratusan juta rupiah.
Media ini telah berupaya meminta klarifikasi kepada Kepala Desa Bandarasri, namun yang bersangkutan memilih bungkam. Hal itu sah sebagai hak jawab yang tidak digunakan sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
(Bersambung/Red)
