Bojonegoro, kabarpos.id – Proyek pembangunan Jembatan Desa Sendangrejo, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, yang bersumber dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Tahun Anggaran 2025 senilai Rp1.342.512.000, memunculkan sejumlah indikasi teknis yang secara keilmuan konstruksi layak dibaca sebagai dugaan penyimpangan konstruksi.
Dugaan ini tidak ditempatkan sebagai tuduhan pelanggaran hukum, melainkan sebagai indikasi ketidaksesuaian antara hasil fisik pekerjaan dengan standar teknis konstruksi dan prinsip pengendalian anggaran negara. Dalam tata kelola keuangan desa, kualitas fisik bangunan merupakan indikator paling objektif untuk menilai efektivitas penggunaan anggaran publik.
Secara struktural, Kepala Desa Sendangrejo, Moch. Mustain, berkedudukan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Posisi ini menempatkan tanggung jawab pengendalian perencanaan, pelaksanaan, mutu pekerjaan, hingga pembayaran dalam lingkup jabatan, meskipun pelaksanaan teknis dilakukan oleh TPK atau pihak lain.
Hasil pengamatan pada struktur abutment jembatan menunjukkan permukaan beton tidak homogen, indikasi sarang kerikil (honeycomb), serta finishing kasar tanpa terlihat perbaikan struktural. Dalam ilmu teknologi beton, kondisi ini bukan sekadar persoalan estetika, melainkan indikasi proses pengecoran yang tidak optimal. SNI 2847:2019 mensyaratkan beton struktural harus padat, homogen, dan memenuhi durabilitas jangka panjang. Ketika indikasi ini muncul, evaluasi teknis secara logis bergeser pada fungsi pengendalian mutu yang melekat pada pengendalian anggaran oleh KPA.
Indikasi lain terlihat pada tulangan besi yang terbuka dengan selimut beton minim. Selimut beton merupakan elemen penting untuk melindungi tulangan dari korosi dan menjamin umur rencana struktur. SNI 2847:2019 secara tegas mengatur ketebalan minimum selimut beton tanpa ruang kompromi. Kekurangan pada detail ini mengindikasikan dugaan penyimpangan detail struktur yang berdampak langsung pada ketahanan jangka panjang bangunan, sekaligus memunculkan pertanyaan apakah verifikasi teknis telah menjadi dasar pencairan anggaran.
Pada pekerjaan tanah dan pondasi, secara visual galian tampak tanpa penahan tanah, tidak terlihat lantai kerja beton, serta tidak tampak mitigasi air atau stabilisasi tanah dasar. Padahal, SNI 8460:2017 tentang Perencanaan Pondasi mewajibkan kestabilan galian dan perlindungan tanah dasar. Ketidakhadiran elemen-elemen ini memunculkan dugaan bahwa tahapan kritis pondasi tidak sepenuhnya dilaksanakan sesuai standar teknis.
Dengan nilai anggaran lebih dari Rp1,34 miliar, proyek ini secara normatif membawa ekspektasi mutu tinggi. Dalam prinsip value for money, kualitas fisik merupakan tolok ukur utama efektivitas anggaran. Jika hasil fisik menunjukkan indikasi mutu yang tidak sebanding dengan besaran anggaran, maka yang diuji bukan niat pelaksana, melainkan mekanisme pengendalian anggaran yang dijalankan oleh KPA.
Secara normatif, KPA dapat menunjuk TPK dan pengawas, namun dalam hukum administrasi delegasi pelaksanaan tidak menghapus tanggung jawab jabatan. Setiap indikasi teknis di lapangan secara struktural bermuara pada fungsi KPA, bukan untuk menyimpulkan kesalahan, melainkan untuk memastikan seluruh kewajiban pengendalian anggaran telah dijalankan sesuai asas akuntabilitas, transparansi, dan kehati-hatian.
Hingga berita ini ditulis,belum ada klarifikasi resmi dari kepala desa Sendangrejo kecamatan Dander tersebut.
(Bersambung/Red)
