Sidoarjo, kabarpos.id – Ada yang busuk di balik meja pemerintahan Desa Mojoruntut, Kecamatan Krembung.
Sebuah kejadian memalukan menampar wajah pelayanan publik ketika Sekretaris Desa (Sekdes) yang seharusnya menjadi contoh keterbukaan, justru memblokir nomor wartawan yang hendak meminta konfirmasi.
Bukan hanya tindakan kecil, ini adalah bentuk nyata dari arogansi kekuasaan di level paling bawah.
Dalam dunia pemerintahan, Sekdes adalah jantung administrasi. Tapi apa jadinya jika jantung itu berdenyut dengan kesombongan dan ketakutan?
Sikap memblokir wartawan bukan sekadar tindakan pribadi, itu pengkhianatan terhadap rakyat, terhadap prinsip transparansi, dan terhadap sumpah jabatan itu sendiri.
Wartawan datang bukan membawa senjata, melainkan pena dan pertanyaan. Tapi di Desa Mojoruntut, pena justru dianggap ancaman.
Alih-alih memberi klarifikasi, Sekdes Koko ini memilih berlindung di balik tombol “blokir”, seperti tikus yang bersembunyi di balik karung beras setelah mencuri.
Sikap pengecut semacam ini adalah luka di wajah demokrasi desa.
“Kalau pejabat publik menutup komunikasi, artinya dia sedang menutup kebenaran,”. ujar salah satu wartawan dengan nada geram.
Wartawan lain bahkan menyebut, perilaku tertutup seperti ini sudah lama terasa, pemerintah desa sulit ditemui, dan jawaban atas pertanyaan publik sering berakhir di ruang hampa.
Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap pejabat wajib membuka akses informasi bagi masyarakat, apalagi ketika dimintai konfirmasi oleh jurnalis.
Namun ketika aturan itu diinjak oleh seorang aparat desa, yang tersisa hanyalah aroma busuk kekuasaan tanpa tanggung jawab.
Para pengamat menilai, tindakan semacam ini bisa menjadi cermin betapa bobroknya mental birokrasi di akar rumput.
Bukannya melayani, mereka justru membangun tembok tinggi dari ego dan rasa takut.
Sekdes Mojoruntut kini menjadi simbol kecil dari penyakit besar birokrasi: arogan saat berkuasa, bisu ketika diminta pertanggungjawaban.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, terutama Camat Krembung dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, tidak boleh tinggal diam.
Sebab jika pejabat sekecil Sekdes sudah berani mempermalukan lembaga pemerintahan dengan cara memblokir wartawan, maka yang rusak bukan hanya citra desa, tetapi martabat publik yang mereka wakili.
Dan bagi masyarakat, kejadian ini menjadi pengingat keras: di balik papan nama “pemerintah desa”, terkadang bersembunyi wajah kekuasaan yang lupa siapa majikannya, rakyat.
(Bersambung/Red)
