SURABAYA – Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, gelar review Focus Group Discussion (FGD) tragedi Kanjuruhan, yang secara langsung menghadirkan keluarga korban untuk mendengarkan penjelasan dan sanggahan dari para ahli, serta diberi kesempatan untuk bertanya langsung dengan para pakar.
Usai di sampaikannya hasil outopsi oleh Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jatim, Dr dr Nabil Bahasuan beberapa waktu lalu, beragam komentar miring dari keluarga korban yang tidak puas dengan hasil tersebut.
Kini sebanyak 16 orang mewakili keluarga korban Kanjuruhan itu menghadiri kegiatan FGD, yang di selenggarakan di Kampus B, Gedung Pancasila, Fakultas Hukum Unair Surabaya, pada Rabu (7/12/2022).
Di kesempatan ini mereka mendapat penjelasan secara gamblang baik dari bidang Forensik, bidang Hukum Pidana, bidang Psikologi, bidang Kimia dan Bidang Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu perwakilan keluarga korban Vincentius Aris atau orang tua dari korban atas nama Revano Presati, menyampaiakan kegiatan ini menambah pengetahuan dan memperluas pengetahuan.
Namun demikian ia mengaku tidak semu yang disampaikan oleh para pakar dapat masuk dalam pemikirannya.
“Kalo penyampaian para pakar itu memperluas pandangan kami terhadap penyelesaian hukum yang ada saat ini, terlebih hanya itu sih untuk poinnya,” ucap Vincentius Aris keluarga korban Kanjuruhan dihadapan awak media.
Lebih lanjut Vincentius juga mengatakan, sebelumnya ia tidak tau jika permasalahan ini sudah di proses oleh pihak kepolisian, pasalnya selama ini mayoritas keluarga korban hanya tau dari media.
“Ya yang sebelumnya kami tidak tau bahwa masalah ini sudah di proses oleh kepolisisan itu akhirnya kami tau lewat para pakar sendiri yang selama ini kami tau kan lewat media, keterbatasannya seperti itu,” tambah Vincentius.
Ia juga mengaku kalau tidak lewat media tidak tau apa-apa, dengan begini keluarga korban kumpul dijelaskan pihaknya sedikit banyak mengetahui.
“Meskipun gak nyampek 50% yang masuk tapi paling tidak kita jadi ngerti, terus akhirnya para pakar bisa menjembatani kami untuk inten permasalahan ini kepada lembaga pemerintahan,” jelasnya.
Vincentius juga mengaku karena keterbatasan pemikirannya, mereka tidak secara keseluruhan memahami apa yang disampaikan dan di jelaskan secara gamblang oleh para pakar.
“40% kami bisa menerima, karena maaf keterbatasan pemikiran kami, karena yang datang ini semuanya kan gak ada yang pakar hukum, terus kami semua orang desa, untuk hal-hal yang lebih spesifik seperti yang dilakukan oleh para pemandu tadi pemikirannya kayake belum nutut,” akunya.
Sementara itu, Iman Prihandono, S.H., Pakar bidang HAM yang juga sebagai Drkan di Fakultas Hukum Unair Surabaya mengatakan, dalam kesempatan ini pihaknya lebih ingin mendengar penjelasan dari keluarga korban, selain dari pada tanggung jawab hukum, keluarga jugabingin ada penyelesaian lain.
“Dari FGD ini kan kita mendengar bahwa sebenarnya yang di inginkan oleh keluarga selain dari pada tanggung jawab hukum, keluarga juga menginginkan ada penyelesaian lain. Seperti korban ini diantaranya adalah tulang punggung keluarga, korban-korban ini diantaranya juga kehilangan anak, keluarga dan mereka mengalami trauma,” paparnya.
“Nah harus ada penanganan untuk hal-hal yang seperti ini, bahwa income keluarga itu hilang, bahwa ada perasaan tertekan dan lain-lain yang tentu juga kalo misalnya bapaknya atau ibunya yang tertekan, yang tadinya si bapak dan ibu ini kerja tapi akhirnya mereka tidak kerja atau kehilangan semangat untuk bekerja, itu juga harus di selesaikan,” tambahnya Iman Prihandono.
Ia juga mengatakan ada yang hilang dari penanganan Kanjuruhan, ia melihat penanganan Kanjuruhan ini suporter atau korban pada umumnya itu mendorong penyelesaian-penyelesaian hukum aja, tapi sebenarnya ada sebagian dari korban itu menginginkan juga penyelesaian yang tanggung jawab tidak hukumnya, sebenarnya itu jauh lebih penting dari pada untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah melalui jalur hukum.
“Seandainya semua pihak, baik korban suporter dan lain-lain seperti LIB, PSSI, Kepolisisan dan semua mau duduk jadi satu menyelesaikan masalah ini dengan banyak metode, misalnya rekonsiliasi dan sudah pernah ada rekonsiliasi aceh ada rekonsiliasi Timor Leste di Kepolisian, di Kejaksaan juga ada restorative Justice Mereka bisa berkumpul jadi satu menyepakati penyelesaian-penyelesaian yang non hukum,” tandasnya.
“Penyelesaian non hukum itu lebih penting untuk memberikan restorasi, memberikan penyelesaian psikis, ekonomis yang lebih dibutuhkan oleh korban sebenarnya,” pungkas Dekan Fakultas Hukum Unair itu. (Nico jr wapimred)