Lamongan, Kabarpos.id – Dunia pendidikan anak usia dini di Lamongan tercoreng oleh dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang menyasar wali murid TK/PAUD se-kabupaten. Wali murid mengaku diminta membayar Rp15.000 untuk sebuah buku bergambar kolase yang diduga tidak memiliki nilai edukatif signifikan. Ironisnya, pembelian ini disebut-sebut sebagai bagian dari “kerjasama” dengan salah satu surat kabar harian.
Modusnya terkesan rapi: buku bergambar disodorkan sebagai produk wajib beli, disertai imbauan dari guru agar wali murid patuh karena telah menjadi “program sekolah”. Saat dikonfirmasi, salah satu guru menyebut ada kerjasama antara pihak sekolah dengan media tertentu. Namun, hingga berita ini diturunkan, tidak ada bukti jelas soal nota kesepahaman, apalagi landasan legal yang membenarkan pungutan tersebut.
“Anak saya masih TK. Masa sudah disuruh beli buku isinya cuma tempelan gambar begitu seharga lima belas ribu? Katanya wajib beli,” ujar salah satu wali murid yang meminta identitasnya disamarkan demi keamanan.
Sementara itu salah satu kordinator TK ketika di konfirmasi mengatakan bahwa sudah kerjasama dengan salah satu media lamongan.
“Iya mas kolase gambar nya 15ribu, sudah kerjasama dengan media lamongan, dan itu sekabupaten lamongan.” Katanya rabu (07/5/2025).
Dugaan praktik pungli ini menguat karena terjadi secara serentak di berbagai TK/PAUD di Lamongan, dengan pola dan narasi serupa. Hal ini menandakan adanya sistematisasi yang tidak berdiri atas dasar regulasi resmi Dinas Pendidikan.
Kepala Dinas Pendidikan Lamongan, Munif Syarif, saat dikonfirmasi terkait praktik ini memilih diam. Tak ada klarifikasi, tak ada tanggapan. Pesan dan panggilan yang dilayangkan jurnalis tak kunjung dijawab. Sikap bungkam ini memunculkan pertanyaan serius: apakah Dinas mengetahui dan membiarkan, atau justru terlibat dalam lingkaran permainan ini?
Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dengan tegas melarang pungutan dalam bentuk apa pun kepada peserta didik atau orang tua/wali peserta didik oleh pihak sekolah.
Jika benar ada praktik pungli berjamaah yang dibungkus “kerjasama media”, maka ini bukan hanya pemerasan terselubung terhadap masyarakat kecil, tetapi juga eksploitasi atas nama pendidikan. Wajah pendidikan anak-anak Lamongan kini dipertaruhkan di balik tempelan kolase dan buku tak bermutu.
Redaksi akan terus menelusuri aktor di balik praktik ini dan membuka siapa saja yang bermain di sektor paling dasar pendidikan: taman kanak-kanak.
(Bersambung/Red)