Lamongan, Kabarpos id – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) berkedok iuran sukarela dan iuran kegiatan kesiswaan di SMP Negeri 4 Lamongan menyeruak ke permukaan. Di balik label “sukarela”, tersimpan tekanan, ketakutan, dan pemaksaan yang membungkam suara wali murid. Sekolah negeri yang seharusnya bebas biaya justru diduga menjadi sarang pemalakan terselubung—dengan restu diam-diam dari pimpinan sekolah.
Wartawan menelusuri laporan sejumlah orang tua yang mengaku dipungut biaya rutin dengan dalih “iuran kegiatan siswa”, yang besarnya sudah ditentukan sejak awal tahun ajaran. Mereka menyebut bahwa meski disebut “sukarela”, siswa yang orang tuanya belum membayar seringkali “dipanggil khusus”, membuat suasana jadi tak nyaman.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini dugaan kejahatan jabatan.
Merujuk Permendikbud No. 75 Tahun 2016, komite sekolah memang diperbolehkan menghimpun dana masyarakat, namun harus bersifat sukarela, tidak mengikat, tidak memaksa, dan tidak boleh ditentukan besarannya oleh pihak sekolah. Jika syarat ini dilanggar, sanksi administratif bisa dijatuhkan, termasuk pemberhentian kepala sekolah oleh pejabat pembina kepegawaian.
Lebih jauh, praktik ini berpotensi melanggar UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar bagi penyelenggara negara yang memungut dana tanpa dasar hukum.
Namun saat dikonfirmasi pada Kamis (1/5/2025), Kepala SMPN 4 Lamongan, Hari justru menghindar. Jawabannya singkat, kering, dan penuh penghindaran: “Penjelasan di sekolah.” Tidak ada klarifikasi, tidak ada keterbukaan, hanya sikap defensif dari pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan.
Sejumlah guru yang ditemui enggan berkomentar. Ada semacam atmosfer ketakutan yang menyelimuti internal sekolah, seolah kritik terhadap kebijakan bisa berujung pada sanksi personal.
Ironis, lembaga pendidikan justru mencetak keteladanan kebusukan, memaksa walimurid membayar atas nama gotong royong, lalu berlindung di balik kebijakan abu-abu. Uang ditarik, laporan tidak transparan, dan kepala sekolah lepas tangan.
Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan dan Inspektorat Daerah diminta tidak tutup mata. Jika ini terus dibiarkan, maka pungli akan menjadi budaya—dipelihara oleh institusi yang mestinya mencerdaskan anak bangsa.
SMPN 4 Lamongan patut diperiksa. Bukan sekadar audit, tapi investigasi menyeluruh. Uang rakyat harus dihormati, bukan dijarah oleh oknum berkedok pendidikan.
(Bersambung/Red)